Selasa, 12 Mei 2015

TASHIF ( MUSHAHAF) FI HADITS



I.       PENDAHULUAN
Alquran adalah sumber pedoman manusia yang pertama untuk menjalani segala kehidupan didunia dengan berbagai ajaran yang terkandung dan dapat dipahami dengan berbagai cara, namun tidak semua ayat-ayat Al-quran dapat dipahami dengan begitu saja, namun dengan datangnya nabi Muhammad SAW, sebagai suri teladan umat manusia. Dengan inilah hadits atau bisa disebut juga dengan khabar dari rosulullah untuk para umat islam agar menjalani ibadah seperti apa yang telah diajarkan oleh rosulullah, namun penyampaian hadits kepada para sahabat terkadang terjadi suatu permasalahan,baik dalam bacaan ataupun susunan redaksinya sendiri bisa sama persis dengan qoul beliau atau bisa juga terjadi sebuah perubahan. Dari hal inilah pemakalah membahas tashif  fi hadits dalam mata kuliah ulumul hadits dua ini, karena hal ini sangat penting dalam periwayatan sebuah hadits.
II.    Rumusan masalah
1.      Apa pengertian tashif dalam hadits?
2.      Apa saja macam-macam tashif?
3.      Apa saja kitab yang membahas tentang tashif fi hadits?
4.      Apa saja hal-hal yang memungkinkan terjadinya tashif dalam hadits dan implikasi terhadap perawi?
III. PEMBAHASAN
A.    Ta’rif Tashif fi hadits
Dalam kitab taisir fi mustalah hadits Muhammad Thahan mendefinisikan secara bahasa atau etimologi adalah isim maf’ul dari al tashhif yaitu kesalahan dalam lembaran, istilah Ash-Shuhafi adalah orang yang salah dalam membaca (tulisan dalam suatu) lembaran, maka menjadikan perubahaban pada sebagian makna tulisan tersebut karena kesalahan dalam membacanya[1].
 Sedangkan secara istilah adalah mengubah kalimat yang terdapat pada suatu hadits menjadi kalimat yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah, baik secara lafadz maupun maknanya. Ada pula sebagian ulama hadits  yang mengartikan satu hadits yang huruf sanadnya atau matannya berubah karena titik, dengan tetap adanya bentuk tulisan asal.[2]
B.     Macam-macam tashif
Ada beberapa pemabagian tashif yang dilihat dari beberapa segi sudut pandang diantaranya:
a.       Dilihat dari segi tempat terjadinya
1.      Tashif pada sanad
     Perubahan redaksi disebabkan kesalahan dalam penempatan titik pada seorang rawinya, contoh seperti yang diriwayatkan oleh syu’bah dari ‘Awwam bin murajim ( مراجم)  kemudian ditashif oleh Yahya Ibn Main dengan mengatakan dari al ‘Awwam bin Muzahim( مزاحم) . Perubahan ini terjadi pada kata مراجم  ke مزاحم yang mana harakat titik pada huruf jim( ج)  pada kata murajim dipindah  pada huruf ra’ ( ر)  sehingga menjadi huruf za’ ( ز).[3] Yang benarnya adalah:
حَدِيْث شعبة ، عن العوام بن مراجم، عن أبي عثمان النهدي عن عثمان بن عفان، قَالَ: قَالَ رَسُوْل الله: (لتؤدنَّ الحقوق إلى أهلها…الْحَدِي)
2.      Tashif pada matan
        Perubahan redaksi kalimat yang ada dalam matan hadits disebabkan adanya kesalahan dalam penempatan titik. Contohnya, kesalahan yang dilakukan oleh Lahi’ah yang mengubah sebuah hadits yang datangnya dari Zaid bin Tsabit yang sebenarnya berbunyi seperti ini:
.............إحتجر في المسجد .... lalu kemudian diubah menjadi .....احتجم
b.      Dilihat dari segi sumber atau penyebabnya
1.      Tashif Bashar
        Yaitu keraguan yang terjadi pada penglihatan si pembaca ( pearawi ) atas tulisan, karena buruk atau rusaknya tulisan tersebut, atau juga karena tidak ada titiknya. Contohnya yang dilakukan oleh Abu Bakar as-Suli berikut:
من صام رمضان واتبعه ستا من شوال kata “ستا” ternyata dirubah menjadi شيئا tentunya hal ini sangat jauh terjadi pergeseran dalam maknanya
2.      Tashif Sam’i
Perubahan yang terjadi karena rusaknya pendengaran atau jauhnya tempat orang yang mendengar sehingga terjadi suatu keraguan terhadap sebagian kata-kata yang mempunyai wazan sharaf , seperti hadits yang diriwayatkan dari ‘Ashim al Ahwal berubah menjadi Washil al Ahdab yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni.[4] Setidaknya ada beberapa sebab terjadinya perubahan diantaranya:
a.       Rawi mendengar dari jarak jauh, sehingga terjadi keserupaan dalam hadits dalam pendengarannya
b.      Muhaddits yang melafalkan tidak terlalu jelas sehingga serupa dalam pendengaran muridnya
c.       Akibat kurang tajam pendengaran orang yang mendengar sehingga salah dengar
d.      Suasana tempat penerimaan hadits gaduh, sehingga menghilangkan konsentrasi pendengar
e.       Mendengar perkataaan orang-orang sekitar yang mirip dengan kata-kata yang diucapkan muhadits sehingga terjadi keserupaan pendengar
c.       Dilihat dari segi lafadz dan maknanya
1.      Tashhif Lafdzi
Perubahan pada lafal yang banyak terjadi di beberapa hadits, seperti perubahan kata إحتجر ke احتجم. Yang dimaksud dalam hal ini adalah pengubhan kata disebabkan terjadinya keserupaan pada suatu kalimat sehingga keliru ketika membacanya, bisa disebabkan karena tulisannya yang kecil, khatnya yang memang jelek, kurangnya pengelihatan rawi, jarak kitab yang dibaca terlalu jauh, sehingga memudarkan pengelihatan rawi dan atau karena suasana saat itu sedang gelap ini bisa disebut juga tashhiful qira’ah.
2.      Tashhif Maknawi
Terjadi perubahan makna suatu lafal, tapi lafalnya tetap pada bentuk asalnya. Hal ini terjadi karena sang perawi menginginkan pemahaman lain pada lafal tersebut, seperti perkataan Abu Musa Muhammad al-Musani,
نحن من عتره صلى الينا رسول الله ,,, padahal yang dimaksud hadits tersebut adalah
ان النبي الى عتره pemahaman Abu Musa ini terlahir dari sangkaan bahwa kata ‘anazah adalah nama  sebuah kabilah yang terkenal di Arab, padahal artinya adalah tongkat yang ditancapkan didepan orang yang sedang melakukan salat.
C.     Kitab- kitab yang membahas tentang Tashhif fi hadits
Ada beberapa kitab atau referensi yang merujuk pada tashif diantaranya:
·         Kitab At-Tashif karya Daruquthniy
·         Kitab Ishlah Khatha’ al-Muhadditsin, karya Khathabi
·         Kitab Tashifat al-Muhadditsin karya Abu Ahmad al-Askariy
D.    Hal- hal yang memungkinkan terjadinya Tashhif dalam hadits dan implikasinya terhadap rawi serta hukum membenarkannya
      Hal-hal yang memungkinkan terjadi Tashhif fi hadits bisa dikarenakan teks gundul, yang tidak bertitik dan tidak berharakat padahal yang karakter hurufnya hampir mirip seperti ba’ dengan ta’, tsa’ atau nun tanpa bertatap muka dengan guru yang ahli di bidangnya, atau juga karena faktor lupa.  Dalam sebuah artikel, dikemukakan ada beberapa kemungkinan terjadinya tashhif yaitu:
1.      خطأ في قراءة المكتوب، بسبب رداءة الخط، أو غرابته، أو ضعف البصر، أو العجلة في القراءة، أو غير ذلك.
2.      خطأ في كتابة ما يراد كتابته، سواء كان من حفظ أو كتاب أو إملاء الغير، سواء كان ذلك من سبق القلم كما يقولون، أو من غيره.
3.      خطأ في التلفظ، وأكثره من باب سبق اللسان.
4.      خطأ في السمع، أي سمع التلميذ، بسبب بعد الشيخ أو المملي أو ضعف صوته أو ضعف أدائه، أو سرعة كلامه أو مؤثر خارجي أو غير ذلك.
5.       تغير اللفظة في الكتاب، بعد أن كانت مكتوبة على الصواب، بسبب من الأسباب.
6.       تغير اللفظة في الحفظ، بعد أن كانت محفوظة على الصواب، بسبب من الأسباب أيضاً.
            Enam penyebab di atas, ada kalanya yang terjadi secara disengaja, dan daftar sebab terjadinya tashif bisa lebih banyak lagi jika mempertimbangkan aspek-aspek yang lainnya. Ini adalah salah satu bentuk inventarisasi penyebab tashif yang sifatnya masih terbuka.[5] Didalam kitab Taisir musthalah hadits Muhammad thahan menjelaskan tentang impilkasi tashif terhadap rawi sebagai berikut:
ü  Jika tashif tersebut frekuensinya sedikit atau bahkan jarang terjadi, maka itu tidak akan merusak integritas seorang rawi, karena tidak ada seorangpun yang bisa bebas dari melakukan kesalahan dan sedikit tashif.
ü  Sebaliknya, jika seorang rawi sering melakukan tashif, maka ini bisa menciderai ke-dhabith-annya, dan ini menjadi indikasi lemahnya integritas intelektualnya[6]
Sedangkan hukum membenarkan tashhif ada dua pendapat yang pertama: sebagian ulama berpendapat bahwa pembetulan seperti di atas tidak diperbolehkan. Jadi, dibiarkan saja sebagaimana adanya dalam tulisan (yang salah) itu. Pada pendapat ini tidak dijelaskan alasan mengapa tidak diperbolehkan melakukan pembetulan.
Pendapat kedua justru membolehkannya, merubah (dalam arti mengoreksi), membetulkan, serta meriwayatkan versi yang sudah dibetulkan. Ini adalah pendapat yang disandarkan pada Ibnu al-Mubarak dan al-Auza’iy. Pembetulan atau koreksi (hadis mushahhaf dan muharraf) di dalam kitab juga dibolehkan oleh sebagian ulama.
Sedikit menengahi di antara dua pendapat di atas, Imam Nawawi lebih memilih untuk membiarkan saja kesalahan tersebut sebagaimana aslinya teks yang salah tadi, tapi tetap memberikan koreksi dan menjelaskan versi yang benar darinya di tempat lain, yakni dalam Hasyiyah kitab.







[1] Muhammad Thahan, Taisir Musthalah Hadits, (Indonesia: Al-Harumain, 1985), h. 114
[2] A.Qodir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, ( Bandung:  Diponegoro, 2007), h. 193
[3] M. Mashuri Mochtar, Kamus Istilah Hadits,( Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 1435 H/2013), h. 117
[4] M. Mashuri Mochtar, h. 118
[6] Muhammad Thahan, h. 116-117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar