Rabu, 15 April 2015

studi pemikiran politik fazlurrahman



I.       PENDAHULUAN
            Di zaman yang bisa dikatakan sebagai zaman kontemporer ini, banyak sekali pemikiran-pemikiran untuk kebaikan masyarakat dalam membangun sebuah kehidupan yang aman damai dan sejahtera. Pemikiran politik yang sudah sejak dahulu sampai sekarang selalu mendapatkan perkembangan yang sangat pesat, namun banyak sekali yang menganggap bahwasanya politik tidak lagi sehat dan banyak sekali politik yang sudah rusak. Dalam hal ini pemakalah akan memberikan salah satu tokoh pemikir kontemporer yang sangat melegenda, fundamentalis serta seorang pemikir islam yang radikal dan sangat berpengaruh[1], banyak sekali karya-karyanya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, beliau adalah salah satu orangyang menyumbangkan pemikirannya dalam dunia politik dan akan menjelaskan makna politik agar menjadi politik yang sehat dan dapat menyusun suatu tata kenegaraan yang dianjurkan oleh Rosul SAW.
II.    RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana  latar belakang  dan biografi Fazlurrahman?
2.      Apa saja pemikiran-pemikirannya mengenai politik?
III. PEMBAHASAN
1.      Latar belakang dan biografi Fazlurrahman
      Bermula pada lahirnya negara Pakistan pada tanggal 14 Agustus 1947 yang diserahkan oleh Inggris agar menjadi negara yang berdaulat, dan gubernur jenderal pertamanya adalah Jinnah yang mendapatkan gelar Qaid-i-A’zam ( great leader)[2].          Pemikirannya yang muncul pada abad neo-modernisme atau bisa dikatakan atau bisa disebut sebagai kontemporer, pemikirannya yang banyak akan intelektual islam  lebih banyak dibandingkan politik. Beliau lahir di pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang dulunya berdaulat menjadi terpecah belah menjadi dua negara, sekarang terletak di Barat laut Pakistan.
      Riwayat hidup rahman lebih tepat jika disebut suatu perjalanan yang berisi wacana keilmuan islam yang spesifisik dan bertanggung jawab, baik karena penalaran rasional yang disajikannya baik argumentasinya yang kritis ketika ia mengajukan gagasan. Beliau hidup dalam tradisi sunni, namun tradisinya tidak mengisolasikan pemikiran beliau, pendidikannya ditempuh di madrasah dengan pengaruh Deoban ( Deoban seminary) di India Utara ( Uttar Pradesh).      Meskipun beliau hidup di lingkungan yang bermadzhab hanafi, beliau sejak umur belasan tahun sudah melepaskan pemikiran-pemikiran yang sempit dalam batas madzhab-madzhab sunni dan mengembangkan pemikirannya yang bebas. Beliau juga belajar privat dari ayahnya sendiri bernama Maulana Shihabudin yang lulusan dari Darul Ulum jadi otomatis dia sudah menguasai kurikulum disana,  jadi hal ini bisa menjadikan suatu latar belakang dalam pemahaman islam tradisional,  yang perhatiaannya ia pusatkan pada ilmu fiqih, kalam, hadits, tafsir, manteq dan filsafat. Beliau  juga belajar di Punjab Universitas di Lahore hingga lulus dan mendapatkan gelar penghargaan bahasa arabnya, pada tahun 1942. Kemudian selang beliau melanjutkan studi doktornya disana namun beliau diajak Maududi untuk bergabung dengan Jama’ati-Islam, dengan syarat agar meninggalkan studinya, namun beliau menolaknya karena beliau sangat mencintai studinya tersebut.
      Pada tahun  1946 beliau berangkat ke inggris untuk belajar di universitas Oxford, dikarenakan beliau merasa kesulitan untuk menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan umat kawasan Hindia tepatnya dalam kehidupan  ulama’ yang semua pemikirannya harus diberbagai cabang pengetahuan tentang islam dan pelaksanaanya disemua bidang kehidupan. Namun hal ini akan membutuhkan sebuah paradigma baru yang menjadikannya motivasi untuk belajar disana, yang mana akan bermuncullan sebuah paradigma intelektualitas islam modern[3].  Tanggung jawab intelektualisme beliau sangat produktif walau adanya suatu hasrat yang cemas karena banyak pelajar muslim yang merasa cemas bahwa jika mereka belajar islam dibarat, yang secara otomatis mempelajaari serta menerapkan metode kritis dan analistis modernterhadap materi-materi keislaman, yang mana hal ini akan mengakibatkan mereka terkucilkan dan bahkan terjadinya suatu penindasan, walaupun demikian beliau siap menghadapi konsekuensi tersebut.
      Pada tahun 1950 beliau berhasil merampungkan studi doktornya dengan mengajukan disertasi tentang psikologi ilmu dibawah bimbingan Prof. Simon Van Den Bergh, lalu disertasinya diterbitkan oleh Oxfrod Universitas Press terjemahan bahasa inggris  dari karya Ibnu Sina, kitab Al-Najat dengan judul avicenna’s psychology. Setelah mendapatkan gelar doktornya beliau tidak langsung pulang ke negaranya pakistan yang telah mendapatkan kemerdekaan namun dia mengajar di Durham University, setelah itu dia mengajar di institute of islamic studies, Mcgill University, Canada, sambil menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy.
     Pada tahun 1960an beliau kembali ke negaranya Pakistan dengan berbekal pendidikan formal, pengalaman mengajar dan latar belakang liberalisme indo-pakistan sebagai pemikir modernis yang bebas dan radikal. Yang mana pada saat itu di Pakistan sedang terjadi sebuah kontreversi akan pemikiran modernis dengan tradisonal, hal ini menjadikan kesempatannya untuk mengembangkan pemikiran keagamaannya sebagai neo modernis yang siap terjun ke dalam kencahnya perdebatan kubu tradisionalis dengan modernis. Sekitar tahun 1962 dia diangkat sebagai direktur dalam lembaga riset islam, namun jabatannya tidak lama karena menuai kontroversi dengan ulama’ tradisional yang mengganggap bahwa yang berhak menjadi privilese eklsklusive adalah seorang ‘alim yang terdidik secara tradisional bukan didikan islam dari barat dan berhubungan dengannya.  Selain menjabat di lembaga riset islam dia juga menjabat sebagai dewan penasihat Idiologi  Islam Pemerintahan Pakistan, namun dalam usaha kerasnya selalu menuai kontroversi antara kalangan tradisionalis ataupun fundamentalis karena gagasan pemabaharuan yang dirancangkannya itu tidak lazim secara diametral berlawanan denagn opini-opini mereka. Namun selain itu juga terselubung akan tantangan dari rezim Ayyub Khan.
      Pada tahun 1969 beliau beliau meninggalkan negara Pakistan, setelah terjadinya sebuah kambing hitam yang dialaminya dalam dua jabatan itu yang mana semua hujatan dan kritikan selalu dilimpahkan kepadanya. Mengawali kariernya kembali dia mendapatkan jabatan sebagai Profesor tamu di Universitas of California, Los Angeles, tidak lama juga dia mendapatka pengukuhan sebagai  guru besar pemikiran islam di Univesitas Chicago. Beliau hidup di Chicago sampai wafat pada tanggal 26 Juli 1998.
2.      Pemikiran politik Fazlurrahman
      Pemikiran yang dikemukan Fazlur Rahman seputar negara Islam sebenarnya sulit dikatakan sebagai konsep negara, apalagi konsep negara Islam. Sebab apa yang dikemukannya hanyalah sekedar percikan ide-ide tentang negara yang masih sangat global serta tidak tersistematisir secara komplet. Di samping itu, ide-ide yang dikemukakan pun  banyak diliputi kekaburan dan ketidakjelasan. Karena itu, siapa pun yang mempelajari pemikirannya tentang negara Islam, akan lebih banyak memainkan interpretasi dan analisisnya sendiri guna memahami apa yang dimaksud Fazlur Rahman daripada mendapatkan kejelasan pemikiran tersebut. Sebagai contoh, beliau tidak menyatakan secara gamblang pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, meskipun nampaknya dia lebih cenderung berpendapat bahwa Islam tidak memerintahkan dan juga tidak mengajarkan secara jelas mengenai sistem kenegaraan, tetapi mengakui terdapatnya sejumlah tata nilai dan etika dalam Al Qur`an. Fazlur Rahman tidak menjelaskan secara detil bagaimana yang dimaksud dengan metode langsung pemilihan kepala negara dari bawah. Dia juga tidak merincikan secara detil syarat-syarat kepala negara. Fazlur Rahman tidak pernah menyinggung lembaga yudikatif dalam tulisan-tulisannya tentang negara. Fazlur Rahman tidak pernah menjelaskan argumentasinya mengapa dia memilih bentuk negara kesatuan dan mengapa pemerintah harus mempunyai kedudukan yang besar dan kuat. Fazlur Rahman juga tidak menjelaskan, mengapa sistem parlementer tidak cocok dengan Al Qur`an dan tidak pula menjelaskan apakah yang dimaksud pemerintah terpusat itu adalah sistem presidensi.
Maka dari itu, ide-ide Fazlur Rahman seputar negara Islam belumlah layak dianggap sebagai konsep negara. Menurut Taqiyuddin An Nabhani dalam Nizham Al Hukm fi Al Islam (1990) konsep tentang negara Islam haruslah menjelaskan tentang bentuk negara syakl al hukm, sifat negara, dasar negara, prinsip-prinsip qawa’id  pemerintahan, struktur pemerintahan, asas yang menjadi landasan pemerintahan[4], berbagai pemikiran afkar dan persepsi mafahim untuk menjalankan kehidupan bernegara, standar-standar maqayis yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, serta undang-undang dasar dan perundang-undangan yang diberlakukan. Dalam kitabnya Nizham Al Islam (1953) Taqiyuddin An Nabhani mengemukakan bahwa dalam UUD itu harus tercakup penjelasan tentang bagaimana mengatur kekuasaan negara, pembagian kekuasaan negara, juga penjelasan tentang lembaga-lembaga tinggi negara dan wewenangnya masing-masing, serta penjelasan tentang hubungan hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyat serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah.
Jika ide-ide Fazlur Rahman seputar negara sulit dikatakan sebagai konsep negara, maka lebih sulit lagi untuk mengatakan ide-idenya sebagai konsep negara Islam. Sebab, bentuk negara yang diajukannya adalah bentuk pemerintahan republik yang menjalankan demokrasi yang sebenarnya merupakan konsep-konsep yang berakar pada tradisi dan budaya Eropa yang sekularistik. Kedua konsep itu secara historis muncul sebagai antitesis dari budaya politik abad pertengahan yang didominasi oleh agama (kristen), yakni antitesis dari bentuk negara monarki yang ada di Eropa pada abad pertengahan dan dari dominasi ide Hak Ketuhanan (divine rights) di mana hak memerintah ada di tangan raja dan kaisar  dengan legitimasi gereja dan bukan di tangan rakyat.
Atas dasar itu, bentuk negara republik dan konsep demokrasi sebenarnya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan agama manapun , karena kemunculannya justru merupakan reaksi dari dominasi agama (Kristen) di Eropa. Dengan demikian, tidak masuk akal bila bentuk negara republik dan konsep demokrasi dijadikan sebagai representasi dari konsep negara Islam. Secara hati-hati dapat dikatakan bahwa konsep negara republik yang demokratis adalah lebih tepat dikatakan sebagai konsep negara sekuler, daripada konsep negara Islam.
Implikasi logisnya, argumentasi Razlur Rahman yang menerima konsep negara republik yang menjalankan demokrasi patutlah kiranya dibongkar dan dikritisi kembali. Fazlur Rahman menerima kedua konsep itu karena dia beranggapan justru Islamlah yang memerintahkan kita untuk berdemokrasi dalam wadah negara republik[5]. Demokrasi menurutnya menunjukkan adanya hak rakyat untuk memilih pemimpinnya dan keharusan menjalankan syura, sementara bentuk negara republik berarti setiap warga negara berhak untuk menjadi pemimpin, berlainan dengan sistem monarki yang membatasi hak kepemimpinan hanya pada keturunan atau kerabat raja. Semua ini menurutnya adalah ajaran Islam itu sendiri.
Fazlur Rahman mungkin tidak cermat menangkap esensi demokrasi, yang cenderung dipandang hanya dari sisi kekuasaan daripada sisi kedaulatan. Dari sisi kekuasaan, memang ada kemiripan Islam dengan demokrasi. Keduanya menyatakan bahwa rakyatlah yang berhak memilih penguasa. Namun ada perbedaan prinsipal di antara keduanya yang sering diabaikan orang. Dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa, yang akan menjalankan hukum buatan rakyat. Sebab, rakyatlah yang membuat hukum, sebagai manifestasi konkrit konsep kedaulatan rakyat. Dalam Islam, rakyat memilih penguasa, yang akan menjalankan ketentuan syariat, bukan hukum buatan rakyat. Sebab, rakyat tidak berhak membuat hukum. Yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT semata. Allah SWT berfirman :
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS Al An’aam : 57)
Namun demikian, manusia diberi kewenangan mengistinbath hukum syara’ dari dalil-dalil syar’i yang terinci melalui proses ijtihad yang shahih. Sedang dalam kehidupan bernegara, Khalifah diberi kewenangan untuk mengadopsi hukum dan undang-undang syar’i untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sedangkan bentuk negara republik bukanlah sistem pemerintahan yang Islami. Sistem ini tidak diakui oleh Islam sebab berdiri atas dasar sistem demokrasi yang kedaulatan-nya berada di tangan rakyat. Sedangkan sistem Khilafah berdiri atas dasar sistem Islam, yang kedaulatannya berada di tangan syara’.  Oleh karena itu seorang Khalifah tidak dapat diberhentikan oleh umat, walaupun umat memiliki hak untuk memilih dan mengawasi serta menasehatinya. Khalifah diberhentikan oleh ketentuan hukum syara semata, yaitu apabila ia menyalahi hukum syara’ yang jenis  kesalahan mengharuskan untuk diberhentikan. Pemberhentiannya dilakukan melalui (keputusan) Mahkamah Madzalim, sesui QS An-Nisaa` : 59.
Jabatan seorang Khalifah dalam Islam tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu, tetapi dibatasi oleh (sejauh mana) pelaksanaan hukum Islam. Apabila dia tidak melaksanakan hukum Islam, maka dia diberhentikan, meskipun ia baru satu bulan diangkat. Sedangkan dalam sistem Republik, masa jabatan Presiden ditentukan dalam batas waktu tertentu.
Dari keterangan dan kenyataan ini, terdapat perbedaan yang sangat besar antara sistem Republik dengan sistem Khilafah. Oleh karena itu sama sekali tidak boleh menyebut bahwa pemerintahan Islam adalah Republik Islam, atau sistem pemerintahan Islam adalah sistem Republik dan bahwasanya Islam memiliki sistem Republik. Sebab, antara keduanya terdapat perbedaan dan pertentangan yang menyeluruh dan prinsipil.
Didalam karangannya yang berjudul Revival and Reform in Islam tentang kesetiaan kepada pemimipin dan larangan akan melawan negara seperti dalam sejarah perang siffin.  Dalam hal ini beliau menganjurkan tentang politik quietisme yaitu menolak akan politik yang berlebihan yang mana akan mengakibatkan sebuah perebutan kekuasaan. Dalam pemerintahan dituntut untuk menjamin lima hak dasar kepada seluruh rakyatnya diantaranya: Hak hidup, beragama, memiliki kekayaan, martabat manusia dan keutuhan rasional atau pikiran (Aql ), yang harus dicatat bahwa hak ke-empat adalah martabat, ternyata juga memasukkan beberapa bentuk keadilan ekonomi.
IV. PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat semoga bermanfaat khususnya bagi pembaca dan umumnya bagi teman-teman yang mengambil mata kuliah sejarah perkembangan pemikiran islam.
DAFTAR PUSTAKA
Assa’di, Sa’dullah. pemahaman tematik Al Qur’an menurut Fazlurrahman, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013
Fahmia, Aam. gelombang perubahan dalam islam, Jakarta,PT. Grafindo Persada, 2001.
Qodir, Zuly. Pembaharuan Pemikiran Islam, Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2006
Syamsuddin, Sahiron.  Hermeneutika Al-qur’an dan Hadits, Yogyakarta, elSaq Press, 2010





[1] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-qur’an dan Hadits, ( Yogyakarta: elSaq Press, 2010), h. 326
[2] Sa’dullah Assa’di, pemahaman tematik Al Qur’an menurut Fazlurrahman,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 35
[3] Sahiron Samsudin, Hermeneutika Al-qur’an dan Hadits, ( Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), h. 330
[4] Zuly qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2006), h.vi
[5] Aam Fahmia, gelombang perubahan dalam islam,( Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), h. 98-99

1 komentar:

  1. WynnBET Casino Promo Code for $1,000 Bonus + 100FS - Dr.MCD
    WynnBET Casino 제천 출장샵 Promo Code and 영천 출장샵 Review As you can see, the deposit bonus 제주도 출장샵 for online sports betting is a 논산 출장안마 wager made 광명 출장샵 on the amount of money

    BalasHapus