I.
PENDAHULUAN
Di
zaman yang bisa dikatakan sebagai zaman kontemporer ini, banyak sekali
pemikiran-pemikiran untuk kebaikan masyarakat dalam membangun sebuah kehidupan
yang aman damai dan sejahtera. Pemikiran politik yang sudah sejak dahulu sampai
sekarang selalu mendapatkan perkembangan yang sangat pesat, namun banyak sekali
yang menganggap bahwasanya politik tidak lagi sehat dan banyak sekali politik
yang sudah rusak. Dalam hal ini pemakalah akan memberikan salah satu tokoh
pemikir kontemporer yang sangat melegenda, fundamentalis serta seorang pemikir
islam yang radikal dan sangat berpengaruh[1], banyak
sekali karya-karyanya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, beliau adalah
salah satu orangyang menyumbangkan pemikirannya dalam dunia politik dan akan
menjelaskan makna politik agar menjadi politik yang sehat dan dapat menyusun
suatu tata kenegaraan yang dianjurkan oleh Rosul SAW.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
latar belakang dan biografi Fazlurrahman?
2.
Apa saja pemikiran-pemikirannya mengenai
politik?
III. PEMBAHASAN
1.
Latar belakang dan biografi Fazlurrahman
Bermula pada lahirnya negara Pakistan pada
tanggal 14 Agustus 1947 yang diserahkan oleh Inggris agar menjadi negara yang
berdaulat, dan gubernur jenderal pertamanya adalah Jinnah yang mendapatkan
gelar Qaid-i-A’zam ( great leader)[2]. Pemikirannya yang muncul pada abad
neo-modernisme atau bisa dikatakan atau bisa disebut sebagai kontemporer,
pemikirannya yang banyak akan intelektual islam
lebih banyak dibandingkan politik. Beliau lahir di pada tanggal 21
September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang dulunya
berdaulat menjadi terpecah belah menjadi dua negara, sekarang terletak di Barat
laut Pakistan.
Riwayat hidup rahman lebih tepat jika
disebut suatu perjalanan yang berisi wacana keilmuan islam yang spesifisik dan
bertanggung jawab, baik karena penalaran rasional yang disajikannya baik
argumentasinya yang kritis ketika ia mengajukan gagasan. Beliau hidup dalam
tradisi sunni, namun tradisinya tidak mengisolasikan pemikiran beliau,
pendidikannya ditempuh di madrasah dengan pengaruh Deoban ( Deoban seminary) di
India Utara ( Uttar Pradesh). Meskipun
beliau hidup di lingkungan yang bermadzhab hanafi, beliau sejak umur belasan
tahun sudah melepaskan pemikiran-pemikiran yang sempit dalam batas madzhab-madzhab
sunni dan mengembangkan pemikirannya yang bebas. Beliau juga belajar privat
dari ayahnya sendiri bernama Maulana Shihabudin yang lulusan dari Darul Ulum
jadi otomatis dia sudah menguasai kurikulum disana, jadi hal ini bisa menjadikan suatu latar belakang
dalam pemahaman islam tradisional, yang
perhatiaannya ia pusatkan pada ilmu fiqih, kalam, hadits, tafsir, manteq dan
filsafat. Beliau juga belajar di Punjab
Universitas di Lahore hingga lulus dan mendapatkan gelar penghargaan bahasa
arabnya, pada tahun 1942. Kemudian selang beliau melanjutkan studi doktornya
disana namun beliau diajak Maududi untuk bergabung dengan Jama’ati-Islam,
dengan syarat agar meninggalkan studinya, namun beliau menolaknya karena beliau
sangat mencintai studinya tersebut.
Pada tahun
1946 beliau berangkat ke inggris untuk belajar di universitas Oxford,
dikarenakan beliau merasa kesulitan untuk menjawab, menjelaskan dan
menyelesaikan permasalahan umat kawasan Hindia tepatnya dalam kehidupan ulama’ yang semua pemikirannya harus
diberbagai cabang pengetahuan tentang islam dan pelaksanaanya disemua bidang
kehidupan. Namun hal ini akan membutuhkan sebuah paradigma baru yang
menjadikannya motivasi untuk belajar disana, yang mana akan bermuncullan sebuah
paradigma intelektualitas islam modern[3]. Tanggung jawab intelektualisme beliau sangat
produktif walau adanya suatu hasrat yang cemas karena banyak pelajar muslim
yang merasa cemas bahwa jika mereka belajar islam dibarat, yang secara otomatis
mempelajaari serta menerapkan metode kritis dan analistis modernterhadap
materi-materi keislaman, yang mana hal ini akan mengakibatkan mereka
terkucilkan dan bahkan terjadinya suatu penindasan, walaupun demikian beliau
siap menghadapi konsekuensi tersebut.
Pada tahun 1950 beliau berhasil
merampungkan studi doktornya dengan mengajukan disertasi tentang psikologi ilmu
dibawah bimbingan Prof. Simon Van Den Bergh, lalu disertasinya diterbitkan oleh
Oxfrod Universitas Press terjemahan bahasa inggris dari karya Ibnu Sina, kitab Al-Najat dengan
judul avicenna’s psychology. Setelah
mendapatkan gelar doktornya beliau tidak langsung pulang ke negaranya pakistan
yang telah mendapatkan kemerdekaan namun dia mengajar di Durham University,
setelah itu dia mengajar di institute of islamic studies, Mcgill University,
Canada, sambil menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy.
Pada
tahun 1960an beliau kembali ke negaranya Pakistan dengan berbekal pendidikan
formal, pengalaman mengajar dan latar belakang liberalisme indo-pakistan
sebagai pemikir modernis yang bebas dan radikal. Yang mana pada saat itu di
Pakistan sedang terjadi sebuah kontreversi akan pemikiran modernis dengan
tradisonal, hal ini menjadikan kesempatannya untuk mengembangkan pemikiran
keagamaannya sebagai neo modernis yang siap terjun ke dalam kencahnya
perdebatan kubu tradisionalis dengan modernis. Sekitar tahun 1962 dia diangkat
sebagai direktur dalam lembaga riset islam, namun jabatannya tidak lama karena
menuai kontroversi dengan ulama’ tradisional yang mengganggap bahwa yang berhak
menjadi privilese eklsklusive adalah
seorang ‘alim yang terdidik secara tradisional bukan didikan islam dari barat
dan berhubungan dengannya. Selain
menjabat di lembaga riset islam dia juga menjabat sebagai dewan penasihat
Idiologi Islam Pemerintahan Pakistan,
namun dalam usaha kerasnya selalu menuai kontroversi antara kalangan
tradisionalis ataupun fundamentalis karena gagasan pemabaharuan yang
dirancangkannya itu tidak lazim secara diametral berlawanan denagn opini-opini
mereka. Namun selain itu juga terselubung akan tantangan dari rezim Ayyub Khan.
Pada tahun 1969 beliau beliau meninggalkan
negara Pakistan, setelah terjadinya sebuah kambing hitam yang dialaminya dalam
dua jabatan itu yang mana semua hujatan dan kritikan selalu dilimpahkan
kepadanya. Mengawali kariernya kembali dia mendapatkan jabatan sebagai Profesor
tamu di Universitas of California, Los Angeles, tidak lama juga dia mendapatka
pengukuhan sebagai guru besar pemikiran
islam di Univesitas Chicago. Beliau hidup di Chicago sampai wafat pada tanggal
26 Juli 1998.
2.
Pemikiran politik Fazlurrahman
Pemikiran yang dikemukan Fazlur Rahman
seputar negara Islam sebenarnya sulit dikatakan sebagai konsep negara, apalagi
konsep negara Islam. Sebab apa yang dikemukannya hanyalah sekedar percikan
ide-ide tentang negara yang masih sangat global serta tidak tersistematisir
secara komplet. Di samping itu, ide-ide yang dikemukakan pun banyak
diliputi kekaburan dan ketidakjelasan. Karena itu, siapa pun yang mempelajari pemikirannya
tentang negara Islam, akan lebih banyak memainkan interpretasi dan analisisnya
sendiri guna memahami apa yang dimaksud Fazlur Rahman daripada mendapatkan
kejelasan pemikiran tersebut. Sebagai contoh, beliau tidak menyatakan secara
gamblang pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, meskipun nampaknya
dia lebih cenderung berpendapat bahwa Islam tidak memerintahkan dan juga tidak
mengajarkan secara jelas mengenai sistem kenegaraan, tetapi mengakui
terdapatnya sejumlah tata nilai dan etika dalam Al Qur`an. Fazlur Rahman tidak
menjelaskan secara detil bagaimana yang dimaksud dengan metode langsung
pemilihan kepala negara dari bawah. Dia juga tidak merincikan secara detil syarat-syarat
kepala negara. Fazlur Rahman tidak pernah menyinggung lembaga yudikatif dalam
tulisan-tulisannya tentang negara. Fazlur Rahman tidak pernah menjelaskan
argumentasinya mengapa dia memilih bentuk negara kesatuan dan mengapa
pemerintah harus mempunyai kedudukan yang besar dan kuat. Fazlur Rahman juga
tidak menjelaskan, mengapa sistem parlementer tidak cocok dengan Al Qur`an dan
tidak pula menjelaskan apakah yang dimaksud pemerintah terpusat itu adalah
sistem presidensi.
Maka dari itu, ide-ide Fazlur Rahman seputar
negara Islam belumlah layak dianggap sebagai konsep negara. Menurut Taqiyuddin
An Nabhani dalam Nizham Al Hukm fi Al Islam (1990) konsep tentang negara Islam
haruslah menjelaskan tentang bentuk negara syakl
al hukm, sifat negara, dasar negara, prinsip-prinsip qawa’id pemerintahan, struktur pemerintahan, asas yang
menjadi landasan pemerintahan[4],
berbagai pemikiran afkar dan persepsi
mafahim untuk menjalankan kehidupan
bernegara, standar-standar maqayis
yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, serta undang-undang dasar
dan perundang-undangan yang diberlakukan. Dalam kitabnya Nizham Al Islam (1953)
Taqiyuddin An Nabhani mengemukakan bahwa dalam UUD itu harus tercakup
penjelasan tentang bagaimana mengatur kekuasaan negara, pembagian kekuasaan
negara, juga penjelasan tentang lembaga-lembaga tinggi negara dan wewenangnya
masing-masing, serta penjelasan tentang hubungan hak dan kewajiban pemerintah
terhadap rakyat serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah.
Jika ide-ide Fazlur Rahman seputar negara
sulit dikatakan sebagai konsep negara, maka lebih sulit lagi untuk mengatakan
ide-idenya sebagai konsep negara Islam. Sebab, bentuk negara yang diajukannya
adalah bentuk pemerintahan republik yang menjalankan demokrasi yang sebenarnya
merupakan konsep-konsep yang berakar pada tradisi dan budaya Eropa yang sekularistik. Kedua konsep itu secara historis
muncul sebagai antitesis dari budaya politik abad pertengahan yang didominasi
oleh agama (kristen), yakni antitesis dari bentuk negara monarki yang ada di
Eropa pada abad pertengahan dan dari dominasi ide Hak Ketuhanan (divine rights)
di mana hak memerintah ada di tangan raja dan kaisar dengan legitimasi gereja dan bukan di tangan
rakyat.
Atas
dasar itu, bentuk negara republik dan konsep demokrasi sebenarnya tidak ada
sangkut pautnya sama sekali dengan agama manapun , karena kemunculannya justru
merupakan reaksi dari dominasi agama (Kristen) di Eropa. Dengan demikian, tidak
masuk akal bila bentuk negara republik dan konsep demokrasi dijadikan sebagai
representasi dari konsep negara Islam. Secara hati-hati dapat dikatakan bahwa
konsep negara republik yang demokratis adalah lebih tepat dikatakan sebagai
konsep negara sekuler, daripada konsep negara Islam.
Implikasi
logisnya, argumentasi Razlur Rahman yang menerima konsep negara republik yang
menjalankan demokrasi patutlah kiranya dibongkar dan dikritisi kembali. Fazlur
Rahman menerima kedua konsep itu karena dia beranggapan justru Islamlah yang
memerintahkan kita untuk berdemokrasi dalam wadah negara republik[5].
Demokrasi menurutnya menunjukkan adanya hak rakyat untuk memilih pemimpinnya
dan keharusan menjalankan syura, sementara bentuk negara republik berarti
setiap warga negara berhak untuk menjadi pemimpin, berlainan dengan sistem
monarki yang membatasi hak kepemimpinan hanya pada keturunan atau kerabat raja.
Semua ini menurutnya adalah ajaran Islam itu sendiri.
Fazlur
Rahman mungkin tidak cermat menangkap esensi demokrasi, yang cenderung dipandang
hanya dari sisi kekuasaan daripada sisi kedaulatan. Dari sisi kekuasaan, memang
ada kemiripan Islam dengan demokrasi. Keduanya menyatakan bahwa rakyatlah yang
berhak memilih penguasa. Namun ada perbedaan prinsipal di antara keduanya yang
sering diabaikan orang. Dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa, yang akan
menjalankan hukum buatan rakyat. Sebab, rakyatlah yang membuat hukum, sebagai
manifestasi konkrit konsep kedaulatan rakyat. Dalam Islam, rakyat memilih penguasa,
yang akan menjalankan ketentuan syariat, bukan hukum buatan rakyat. Sebab,
rakyat tidak berhak membuat hukum. Yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT
semata. Allah SWT berfirman :
“Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS Al An’aam : 57)
Namun
demikian, manusia diberi kewenangan mengistinbath hukum syara’ dari dalil-dalil
syar’i yang terinci melalui proses ijtihad yang shahih. Sedang dalam kehidupan
bernegara, Khalifah diberi kewenangan untuk mengadopsi hukum dan undang-undang
syar’i untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sedangkan bentuk
negara republik bukanlah sistem pemerintahan yang Islami. Sistem ini tidak
diakui oleh Islam sebab berdiri atas dasar sistem demokrasi yang kedaulatan-nya
berada di tangan rakyat. Sedangkan sistem Khilafah berdiri atas dasar sistem
Islam, yang kedaulatannya berada di tangan syara’.
Oleh karena itu seorang Khalifah tidak dapat diberhentikan oleh umat, walaupun
umat memiliki hak untuk memilih dan mengawasi serta menasehatinya. Khalifah
diberhentikan oleh ketentuan hukum syara semata, yaitu apabila ia menyalahi
hukum syara’ yang jenis kesalahan mengharuskan untuk diberhentikan.
Pemberhentiannya dilakukan melalui (keputusan) Mahkamah Madzalim, sesui QS
An-Nisaa` : 59.
Jabatan
seorang Khalifah dalam Islam tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu, tetapi
dibatasi oleh (sejauh mana) pelaksanaan hukum Islam. Apabila dia tidak
melaksanakan hukum Islam, maka dia diberhentikan, meskipun ia baru satu bulan
diangkat. Sedangkan dalam sistem Republik, masa jabatan Presiden ditentukan
dalam batas waktu tertentu.
Dari
keterangan dan kenyataan ini, terdapat perbedaan yang sangat besar antara
sistem Republik dengan sistem Khilafah. Oleh karena itu sama sekali tidak boleh
menyebut bahwa pemerintahan Islam adalah Republik Islam, atau sistem
pemerintahan Islam adalah sistem Republik dan bahwasanya Islam memiliki sistem
Republik. Sebab, antara keduanya terdapat perbedaan dan pertentangan yang
menyeluruh dan prinsipil.
Didalam
karangannya yang berjudul Revival and
Reform in Islam tentang kesetiaan kepada pemimipin dan larangan akan
melawan negara seperti dalam sejarah perang siffin. Dalam hal ini beliau menganjurkan tentang
politik quietisme yaitu menolak akan politik yang berlebihan yang mana akan
mengakibatkan sebuah perebutan kekuasaan. Dalam pemerintahan dituntut untuk
menjamin lima hak dasar kepada seluruh rakyatnya diantaranya: Hak hidup,
beragama, memiliki kekayaan, martabat manusia dan keutuhan rasional atau
pikiran (Aql ), yang harus dicatat bahwa hak ke-empat adalah martabat, ternyata
juga memasukkan beberapa bentuk keadilan ekonomi.
IV. PENUTUP
Demikian
makalah yang kami buat semoga bermanfaat khususnya bagi pembaca dan umumnya
bagi teman-teman yang mengambil mata kuliah sejarah perkembangan pemikiran
islam.
DAFTAR PUSTAKA
Assa’di, Sa’dullah.
pemahaman tematik Al Qur’an menurut Fazlurrahman, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2013
Fahmia,
Aam. gelombang perubahan dalam islam,
Jakarta,PT. Grafindo Persada, 2001.
Qodir,
Zuly. Pembaharuan Pemikiran Islam, Yogyakarta,
Pustaka pelajar, 2006
Syamsuddin,
Sahiron. Hermeneutika Al-qur’an dan Hadits, Yogyakarta, elSaq Press, 2010
[1]
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika
Al-qur’an dan Hadits, ( Yogyakarta: elSaq Press, 2010), h. 326
[2]
Sa’dullah Assa’di, pemahaman tematik Al
Qur’an menurut Fazlurrahman,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 35
[3]
Sahiron Samsudin, Hermeneutika Al-qur’an
dan Hadits, ( Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), h. 330
[4]
Zuly qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam,
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2006), h.vi
[5] Aam
Fahmia, gelombang perubahan dalam islam,(
Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), h. 98-99
WynnBET Casino Promo Code for $1,000 Bonus + 100FS - Dr.MCD
BalasHapusWynnBET Casino 제천 출장샵 Promo Code and 영천 출장샵 Review As you can see, the deposit bonus 제주도 출장샵 for online sports betting is a 논산 출장안마 wager made 광명 출장샵 on the amount of money